Langsung ke konten utama

Unggulan

Karat Daun Kopi (Hemileia vastatrix) : Penyebab dan Pengendaliannya

 Karat Daun Kopi ( Hemileia vastatrix ) : Penyebab dan Pengendaliannya Penyebab penyakit karat daun kopi Jamur yang menyebabkan penyakit karat daun pada tanaman kopi adalah Hemileia vastatrix pada umumnya adalah parasit obligat, yang hanya dapat hidup jika memarasit jaringan hidup (Semangun, 1990 cit Defitri, 2016). Gambar 1. Konidia jamur Hemilleia sp. Pada H. vastatrix ini spora yang memegang peranan penting dalam pembiakan dan pemencarannya adalah urediospora yang dibentuk dalam jumlah yang besar. Urediospora membentuk pembuluh kecambah yang seterusnya membentuk apresorium di depan mulut kulit, dan seterusnya jamur mengadakan penetrasi ke dalam jaringan daun (Semangun, 1990 cit Defitri, 2016). Gejala Penyakit Karat Daun Kopi (Hemileia vastatrix) Gambar 2. Gejala Penyakit Karat Daun Kopi (Hemileia vastatrix) Gejala penyakit yaitu pada sisi bawah daun terdapat becak-becak yang semula berwarna kuning muda, kemudian menjadi kuning tua, terbentuk tepung berwa

Laporan Praktikum Pengujian Karbohidrat

Laporan Praktikum Biokimia

Pengujian Karbohidrat 


 I. Latar Belakang

I.I Pengertian karbohidrat

    Menurut Yunianto et al., (2021), karbohidrat merupakan aldehida atau keton polihidroksilasi dan turunannya. Secara istilah, karbohidrat berasal dari  ‘karbo’ yang memiliki arti ‘karbon’ dan ‘hidrat’ artinya ‘hidrogen’. Sehingga, karbohidrat memiliki molekul yang terdiri atas karbon (C), hidrogen (H) dan oksigen (O). Ketiga atom tersebut dapat dirumuskan dalam rumus empiris Cn(H2O)n (Banowati, 2019). Karbohidrat menjadi komponen penting bagi manusia dan hewan, terutama hewan pemakan rumput (herbivora). Hal ini dikarenakan, karbohidrat mengandung glukosa sebagai penyedia energi utama pada manusia dan hewan herbivora. Glukosa tersebut sebagian besar diperoleh dari tumbuhan. Tumbuhan akan melakukan sintesis glukosa dari karbondioksida dan air dari lingkungan melalui proses fotosintesis, yang kemudian disimpan dalam bentuk amilum/pati (Rodwell et al., 2018). Dengan metabolisme karbohidrat pada manusia dan herbivora, glukosa diserap oleh darah untuk keperluan energi dan sisa glukosa disimpan dalam bentuk glikogen. 

I.II Klasifikasi karbohidrat

I.II.I Monosakarida

Monosakarida merupakan klasifikasi karbohidrat yang paling sederhana dan tidak dapat dihidrolisis menjadi lebih sederhana lagi. Hal ini sesuai dengan istilah ‘mono’ yang berarti satu dan ‘sakarida’ berarti gula. Monosakarida ini dapat berupa aldehid atau keton dengan gugus hidroksil, tergantung pada jumlah atom karbon dalam rentang 3-7 atom (Rodwell et al., 2018). Aldehid dan keton memiliki gugus molekul yang sama sesuai rumpus empiris yaitu (CH2O)n. Namun, keduanya memiliki gugus fungsi yang berbeda. Adapun mengenai beberapa jenis karbohidrat penting, sebagai berikut:

a. Gliseraldehid

Gliseraldehid merupakan monosakarida paling sederhana karena hanya memiliki jumlah atom C sebanyak 3 buah yang berupa gugus aldehid sehingga, penamaannya disebut aldotriosa. 

b. Glukosa

Glukosa merupakan salah satu monosakarida penting yang berperan sebagai sumber energi bagi makhluk hidup. Pada umumnya, glukosa juga dikenal dengan ‘gula anggur’ dengan sumber nutrisinya banyak ditemukan dalam buah, jagung, sirup jagung, dan madu (Alristina et al., 2021). Kelebihan glukosa di dalam tubuh akan disimpan dalam bentuk glikogen pada manusia dan hewan, serta pada tumbuhan akan disimpan dalam bentuk pati.

c. Fruktosa

Menurut Alristina et al., (2021), fruktosa juga dikenal dengan gula levulosa atau gula buah. Fruktosa merupakan jenis monosakarida yang banyak ditemukan pada makanan terutama dalam madu, buah, dan beberapa sayuran. Selain itu, fruktosa banyak ditemukan dalam buah dan termasuk gula yang paling manis. 

d. Galaktosa

Galaktosa merupakan gula pereduksi yang sukar larut dalam air. Galaktosa tidak dapat ditemukan dari alam namun, harus dihidrolisis dari laktosa (Alristina et al., 2021). Hal ini dikarenakan galaktosa penyusun komponen dari laktosa (gula susu). Begitu juga dengan pemanfaatannya, galaktosa tidak dapat secara langsung dimanfaatkan oleh tubuh akan tetapi, harus diubah menjadi glukosa. 

e. Oligosakarida

Oligosakarida merupakan monosakarida yang terdiri atas 3-10 unit sakarida. Oligosakarida terbagi lagi menjadi:

I.II.II Disakarida

Disakarida merupakan dua monosakarida yang diikat oleh ikatan glikosidik. Adapun mengenai disakarida terbagi atas:

a. Maltosa

Maltosa merupakan dua glukosa yang terikat oleh ikatan glikosidik (14) pada dua D-glukosa. Ikatan tersebut terbentuk antara gugus hidroksil yang terikat oleh atom C nomor 1 (Setyawati & Hartini, 2018). dengan gugus akan banyak ditemukan dalam padi-padian atau serealia seperti, gandum, kamut, dan jagung.

b. Laktosa

Laktosa seringkali disebut dengan gula susu, karena kandungannya dapat ditemukan dalam susu. Laktosa ini tersusun atas glukosa dan galaktosa, dengan keberadan galaktosa yang tidak secara langsung dapat diperoleh manfaatnya. Kedua glukosa dan galaktosa ini terikat oleh ikatan glikosidik  (1→4) pada atom karbon nomor satu dan empat.

c. Sukrosa 

Sukrosa merupakan gula konsumsi bagi manusia yang paling banyak diperoleh dari tebu. Mengkonsumsi sukrosa yang berlebihan dapat memicu meningkatnya kadar glukosa dalam darah. Berdasar sifatnya, sukrosa tidak memiliki daya reduksi karena gugus pereduksi saling berikatan dalam 1,2-glikosidik pada C1 glukosa dan C2 fruktosa (Setyawati & Hartini, 2018).

d. Trisakarida 

Trisakarida dibentuk dari tiga monosakarida yang diikat oleh ikatan glikosidik. Adapun mengenai jenis trisakarida penting, sebagai berikut:

e. Rafinosa

Rafinosa merupakan salah satu trisakarida yang banyak ditemukan pada serealia dan sayuran. Terdapat tiga monosakarida penyusun rafinosa yaitu glukosa, fruktosa, dan galaktosa. Rafinosa dapat dihidrolisis menjadi D-Galaktosa dan sukrosa oleh enzim galaktosidase (-GAL) (Yunianto et al., 2021). Enzim galaktosidase (-GAL) ini hanya terdapat pada hewan dengan lambung poligastrik yang berperan dalam proses digesti. 

I.II.III Polisakarida

Polisakarida merupakan sakarida dengan jumlah lebih dari 10 unit gula yang terikat oleh ikatan glikosidik. Terdapat dua klasifikasi polisakarida berdasarkan jenis monomernya. Apabila monomer pada polisakarida terdiri atas satu jenis yang sama, maka diklasifikasikan sebagai homopolisakarida. Tidak sama halnya dengan heteropolisakarida yang berupa polisakarida dengan dua atau lebih jenis monomer (Setyawati & Hartini, 2018). Adapun jenis polisakarida penting yaitu:

a. Amilum/pati

Amilum ini merupakan bentuk glukosa yang menjadi cadangan bagi tumbuhan. Terdapat dua susunan amilum yaitu amilosa dan amilopektin. Keduanya sama-sama disintesis dari residu glukosa namun, memiliki perbedaan yang terletak pada ada tidaknya cabang pada rantai polimer. Amilosa merupakan gabungan residu glukosa monomernya oleh ikatan -1, 4-glikosidik yang akan membentuk polimer dengan rantai yang tidak bercabang (Setyawati & Hartini, 2018). Sementara, amilopektin merupakan polimer bercabang dari residu glukosa dengan substitusi titik percabangan pada C4 dan C6.

b. Glikogen

 Glikogen ini tersusun atas senyawa D-glukosa dengan struktur rantai menyerupai amilopektin yakni rantai bercabang. Glikogen menjadi bentuk penyimpanan primer karbohidrat pada hati dan otot oleh manusia dan hewan (Alristina et al., 2021). Dengan adanya cadangan karbohidrat, ketersediaan energi semakin terpenuhi. 

c. Selulosa

Menurut Alristina et al., (2021), selulosa merupakan homopolisakarida glukosa dengan ikatan glikosidik 1→4 D-Glukosa. Selulosa merupakan serat komponen penyusun dinding sel pada tumbuhan yang tidak dapat larut dan dicerna oleh tubuh.


I.III Struktur karbohidrat

a. Stereisometri

    Stereisomer merupakan molekul-molekul dengan persamaan pada rumus bangun namun, mengalami perbedaan dalam hal penyusunan posisi atomnya (konfigurasi keruangan). Stereisomer dalam bentuk konfigurasi ruang terbagi menjadi 2 yaitu enantiomer dan diastereomer. Enantiomer pada molekul-molekulnya memiliki bayangan yang mencermin. Terdapat persamaan sifat akiral dan sedikit perbedaan yang terletak pada sifat kiral molekul tersebut. Adanya persamaan dalam sifat akiral mengakibatkan stereisomer keduanya tidak dapat dipisahkan melalui metode-metode dari sifat akiral. Terjadinya enantiomer ini dikarenakan bentuk karbon yang asimetris dari struktur atom karbohidrat. Banyaknya atom karbon asimetris tersebut mempengaruhi jumlah isomer yang terbentuk dari suatu molekul. Hal tersebut dapat dihitung melalui rumus 2n dengan n menunjukan banyaknya karbon asimetris.

    Pada penentuan isomer D dan L sebagai bayangan, ditentukan oleh hubungan spasial antara senyawa induk karbohidrat dengan atom karbon glukosa (jenis sakaridanya) (Rodwell et al., 2018). Ketika gugus hidroksil (OH) sakarida berada di sebelah kanan, maka jenis isomernya adalah isomer D. Berbeda apabila, gugus hidroksilnya berada di sebelah kiri, maka isomernya termasuk dalam isomer L. Adanya karbon asimetris pada atom stereisomer menyebabkan aktivitas optik yang memutar bidang polarisasi cahaya. Perputaran tersebut dinamakan dekstrorotasi apabila arah putarannya ke kanan dengan diberi simbol + (positif). Berbeda dengan levorotasi yaitu arah putaran bidang polarisasi ke kiri akan - atau negatif (Rodwell et al., 2018). Sementara untuk diastereomer, molekul yang terbentuk akan mempunyai sifat yang bukan bayangan cermin dan berbeda sifat baik kiral maupun akiral. 

b. Mutarotasi

Menurut Arifin et al., (2017) mutarotasi merupakan penyetimbangan suatu bentuk anomerik dalam pelarutan bentuk α dan  dari D-glukosa di dalam air sehingga bentuk keduanya saling mengonversi. Dengan menggunakan proyeksi Haworth, monosakarida dapat diproyeksikan ke bentuk segi 5 atau segi 6 dengan proyeksi terhadap bidang tegak lurus. Adapun antara piranosa dan furanosa memiliki perbedaan cukup masif dalam hal jumlah atom karbon. Piranosa mempunyai bentuk cincin dengan 6 anggota atom karbon. Dua ikatan karbon yang tersisa untuk setiap karbon digambarkan satu di atas dan satu di bawah (Stick and Williams, 2009). Contoh dari isomer molekul piranosa antara lain -D-glukopiranosa dan -D-glukopiranosa. Sementara, furanosa terdiri atas cincin D-fruktosa dengan 5 atom karbon. Di dalamnya, terdapat ikatan hemiketal internal yang berada di antara gugus keto C-2 dan gugus hidroksil C-5.  Untuk isomer dari furanosa antara lain -D-fruktofuranosa dan -D-fruktofuranosa.


I.IV Fungsi biologis karbohidrat

a. Sumber energi utama 

Karbohidrat berperan dalam penyedia energi bagi tubuh terutama pada hewan herbivora. Apabila terjadi kelebihan karbohidrat, maka hewan akan menyimpan dalam bentuk glikogen dalam hati dan otot. Hal inilah yang akan menjadi cadangan energi dan mencegah defisiensi energi. Selain bagi tubuh, karbohidrat menjadi sumber energi kinerja otak dan sistem saraf. Keberadaan glukosa sangat diperlukan karena apabila terjadi kekurangan dapat berakibat terhadap kerusakan otak dan sistem neuron (Alristina et al., 2021).

b. Berperan dalam sistem digesti

Dalam proses digesti, karbohidrat memiliki berbagai peran seperti, dalam gerak peristaltik pada esofagus dan pembuangan sisa hasil digesti atau feses (Hanum, 2017). Selain itu, komponen karbohidrat berupa hemiselulosa, pektin, dan serat lain yang dapat membantu mencegah terjadinya konstipasi karena dapat menyerap banyak air sehingga feses akan mudah dikeluarkan. 

c. Pemanis alami

Kandungan utama karbohidrat merupakan glukosa, sehingga peran utama sebagai pemberi rasa manis. Disakarida dan monosakarida termasuk golongan glukosa yang paling manis, meskipun setiap jenis sakarida memiliki karakteristik rasa manis yang berbeda. Keberadaan karbohidrat sebagai pemanis alami memang tidak terlalu baik apabila dikonsumsi dalam jumlah banyak karena dapat berdampak terhadap kesehatan namun, hal tersebut menjadi solusi yang lebih baik daripada konsumsi pemanis sintetis.

d. Menjaga fungsi protein

Protein di dalam tubuh dapat dipecah menjadi karbohidrat apabila terjadi kekurangan ketersediaan sakarida untuk mensuplai energi. Namun, hal tersebut bukanlah fungsi baik yang diperankan oleh protein. Protein memiliki fungsi yang tidak dapat disubstitusikan dengan nutrisi lain yaitu untuk merombak sel rusak dan membangun sel-sel baru. Dengan begitu, terpenuhinya kebutuhan karbohidrat dapat membuat protein menjalankan fungsi utamanya dengan baik dan efektif. 


I.V Pengujian karbohidrat (tujuan dan prinsip kerja)

I.V.I Daya mereduksi

a. Uji benedict

Uji benedict digunakan untuk mengetahui kandungan amilum pada suatu sampel. Menurut Atma (2018) sampel mengandung amilum apabila terjadi perubahan pada larutan sampel yang ditunjukannya dengan terbentuknya endapan merah bata, dengan larutan sampel yang berwarna kehijauan, jingga, ataupun merah. Pengujian amilum dengan metode benedict dilakukan dengan cara meneteskan reagen benedict pada larutan amilum.  Gugus aldehid atau keton pada karbohidrat akan bereaksi secara reduksi untuk membentuk cuproksida (CuO). Akibat dari reaksi tersebut, larutan sampel yang positif mengandung amilum akan menjadi berwarna kehijauan sebagai dampak adanya reduksi Cu2+ menjadi Cu+ yang mengendap sebagai cuprooksida dengan warna merah bata (Setiawan, 2015). Sementara, sampel yang tidak mengandung amilum akan berwarna kebiruan. 

b. Uji luff

Uji luff merupakan metode pengujian dengan tujuan untuk mengetahui adanya gugus aldehid CHO (karbohidrat). Menurut Pradnyana et al., (2014), prinsip pengujian dengan menggunakan metode luff yaitu reaksi antara monosakarida terhadap larutan cupper yang dapat membentuk senyawa Cu2O. Pembentukan kupro oksida (Cu2O) ini terjadi pada reaksi reduksi pertama dari senyawa CuO oleh monosakarida. Pada pengujian luff, digunakan sampel dengan menambahkan reagen Luff kedalam larutan sampel tersebut. Perlakuan berikutnya yaitu sampel dipanaskan sampai terjadi perubahan pada larutan. Menurut Fadjria et al., (2019), dengan memberikan perlakuan pemanasan terhadap sampel, akan menyempurnakan reaksi reduksi yang terjadi sehingga dapat diperoleh endapan merah bata. Hasil akhir pengujian berupa suatu endapan dengan kompleks merah bata, menunjukkan bahwa sampel mengandung gugus aldehid. Sementara, pada sampel yang tidak mengandung gugus aldehid terjadi perubahan warna larutan menjadi biru tanpa pengendapan. 

I.V.II Pengaruh asam

a. Uji molish

Uji molish adalah uji yang didasari oleh reaksi karbohidrat oleh asam sulfat dan membentuk cincin fulfural atau hidroksi metal fulfural yang berwarna ungu (Suseno dan Roswiem, 2018). Penggunaan asam sulfat H2SO4 berfungsi untuk menghidrolisis heksosa menjadi pentosa dan furufural. Penggunaan uji molish ini bertujuan untuk mengidentifikasi adanya karbohidrat dengan ditandai adanya cincin fulfural berwarna ungu pada larutan yang sedang diujikan. Timbulnya warna ungu ini berasal dari kondensasi antara furfural dengan -naftol.

b. Uji seliwanoff

Uji seliwanoff merupakan metode yang menguji secara spesifik kandungan ketosa pada karbohidrat. Pengujian positif terhadap larutan sakarida ditandai dengan perubahan menjadi warna merah. Hal ini akibat dari reaksi asam klorida sebagai reagen yang akan bereaksi dengan heksosa dan menghasilkan hidroksi metal fulfural. Setelah itu, perubahan warna merah akan didapat dari keberlanjutan reaksi antara hidroksi metal dengan resorsinol. Reaksi dehidrasi antara ketosa menjadi furfural oleh reagen seliwanoff menghasilkan kompleks merah yang menunjukkan bahwa sampel tersebut memiliki kandungan ketosa (Safitri & Roosdiana, 2020).

I.V.III Pembentukan osazon dengan Uji fenilhidrazin

Uji fenilhidrazin dilakukan untuk mengetahui adanya glukosa dalam suatu larutan. Menurut Yuliana (2018), semua jenis karbohidrat yang memiliki gugus aldehid maupun keton akan membentuk osazon (kristal) apabila dilakukan pemanasan dengan senyawa fenilhidrazin yang berlebih. Kandungan aldosa dalam karbohidrat akan bereaksi dengan fenilhidrazin yang akan membentuk fenilhidrazon. Melalui reaksi yang tetap berlanjut, dari fenilhidrazon dapat diperoleh osazon yang berwujud padatan kristal. Adanya osazon ini, identifikasi terhadap karbohidrat dalam metode uji fenihidrazilin dapat dilakukan. 

I.V.IV Polisakarida dengan Uji yod

Pengujian yod dilakukan untuk mengetahui adanya kandungan polisakarida dalam suatu larutan. Pada pengujian ini, digunakan reagen berupa larutan iodin. Regen iodin kemudian akan diteteskan pada amilum, dan dipanaskan. Apabila dalam reaksi ini dihasilkan warna biru, maka larutan tersebut positif mengandung amilum (glukosa). 

I.V.V Uji hasil hidrolisis amilum

Pengujian amilum berikutnya dapat dilakukan melalui hidrolisis amilum. Struktur bentuk amilum yang berupa amilosa dan amilopektin menjadi komponen yang diuji. Dengan metode hidrolisis, pengujian dilakukan dengan melarutkan amilum dalam air. Dari perlakuan tersebut, akan didapat bagian amilum yang larut dalam air yaitu amilosa dan yang tidak larut dalam air yaitu amilopektin. Apabila keduanya diberikan larutan iodium maka, bagian amilosa akan berwarna biru sementara, amilopektin/dekstrin akan berwarna ungu sampai kemerahan, dan positif terhadap glikogen akan ditunjukkan dengan warna cokelat (Safitri & Roosdiana, 2020).


II. Alat, Bahan dan Cara Kerja

Alat:

  • Tabung reaksi sebagai tempat terjadinya reaksi antara benedict dengan glukosa
  • Kompor sebagai alat pemanas Pani sebagai wadah memanaskan tabung reaksi
  • Penjepit untuk menahan tabung reaksi saat dipanaskan
  • Pipet sebagai alat pengambil bahan cair
  • Saringan untuk menyaring larutan
  • Mikroskop untuk melihat hasil reaksi
  • Cawan porselin sebagai tempat reaksi

Bahan:

  • Air sebagai pelarut
  • Larutan benedict sebagai reagen
  • Glukosa sebagai sampel
  • Luff sebagai reagen
  • Fruktosa sebagai sampel
  • Glukosa sebagai sampel
  • Laktosa sebagai sampel
  • Sakarosa sebagai sampel
  • Pati sebagai sampel
  • Arabinose sebagai sampel
  • Furfural sebagai reagen
  • Naftol sebagai reagen
  • Selulosa sebagai sampel
  • HCl sebagai reagen
  • Larutan resorsinol 
  • Asam asetat sebagai reagen
  • Fenilhidrazin sebagai reagen
  • Natrium asetat sebagai reagen
  • Larutan amilum sebagai sampel
  • Larutan iodin sebagai reagen
  • Larutan iodin sebagai reagen
  • Na2CO3 sebagai reagen


III. Hasil dan Pembahasan

        Pengujian dengan metode benedict dilakukan untuk mengetahui kandungan amilum pada 3 sampel dengan konsentrasi yang berbeda. Adapun 3  jenis sampel  tersebut yaitu 1 ml glukosa 0,01 M; 1 ml glukosa 0,02 M; dan 1 ml glukosa 0,04 M. Kemudian setiap sampel ditambahkan reagen 3 ml benedict dan dipanaskan selama 10 menit. Setelah melalui proses pemanasan, pada larutan akan mengalami perubahan terhadap endapan dan warna larutan. Terbentuknya endapan pada sampel menunjukkan bahwa sampel tersebut mengandung amilum. 

        Menurut Hermanto et al., (2020), pengendapan yang terjadi pada uji benedict ini karena timbulnya reaksi reduksi Cu2+ menjadi Cu+ dalam konsentrasi larutan alkali dengan bentuk Cu2O. Senyawa Cu2O atau tembaga (I) oksida merupakan salah satu senyawa anorganik yang tidak larut dalam air sehingga, akan mengendap. Dengan begitu, hasil uji benedict terhadap 3 sampel glukosa yang telah dilakukan, dapat dinyatakan bahwa ketiga sampel mengandung amilum. Pada sampel dengan konsentrasi glukosa paling tinggi yaitu 0,04M memiliki kandungan amilum yang paling banyak juga. Hal tersebut, dapat diamati melalui endapan yang terbentuk. Sesuai pula dengan pernyataan Hermanto et al., (2019) bahwasannya semakin tinggi konsentrasi glukosa maka, akan semakin banyak senyawa Cu2O yang dapat terbentuk. 

        Selain endapan, perubahan warna yang terjadi untuk setiap larutan juga berbeda. Pada sampel dengan konsentrasi glukosa 0,01 M memiliki perubahan warna menjadi biru terang, reaktan glukosa 0,02 M mengalami perubahan warna menjadi lebih gelap dari larutan sebelumnya, dan pada reaktan glukosa 0,04 M perubahan warna yang terbentuk biru gelap-kehitaman. Perbedaan warna yang dihasilkan ini dikarenakan konsentrasi reaktan (glukosa) yang berbeda-beda. Semakin tinggi konsentrasi reaktan, maka semakin gelap pula warna yang dapat terbentuk. Sehingga, perubahan warna yang semakin gelap menunjukkan kandungan amilum pada sampel tersebut semakin banyak. 

        Uji luff merupakan pengujian untuk mengetahui adanya gugus reduksi bebas pada karbohidrat. Dalam pengujian yang telah dilakukan, digunakan 5 sampel yang berbeda yaitu 2 ml fruktosa 0,02 M; 2 ml glukosa 0,02 M; 2 ml laktosa 0,02 M; 2 ml sukrosa 0,02 M; dan 2 ml 0,7% pati. Masing-masing dari sampel kemudian diberi reagen luff sebanyak 1 ml. Pemberian reagen luff akan menimbulkan reaksi reduksi Cu2+ menjadi Cu+.  Perlakuan berikutnya dengan memanaskan setiap tabung reaksi selama kurang lebih 15 menit. Pemanasan dilakukan untuk menyempurnakan proses reaksi reduksi Cu2+ menjadi Cu+ oleh reagen luff sehingga akan diperoleh endapan merah bata (Fadjria et al., 2019).

        Dari uji luff yang sudah dilakukan, diperoleh hasil mengenai keberadaan gugus reduksi bebas pada reaktan. Keberadaan gugus tersebut ditunjukkan dengan terbentuknya endapan merah bata pada larutan sampel. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ifmaily (2018) bahwa gula pereduksi (aldehid) yang bereaksi dengan oksidator akan membentuk Cu2O dalam bentuk endapan merah bata. Dalam pengujian yang telah dilakukan, diperoleh hasil yang berbeda pada setiap sampel ini. Pada sampel 2 ml fruktosa 0,02 M dan 2 ml glukosa 0,02 M terbentuk endapan merah bata dengan jumlah yang cukup banyak. Terbentuknya endapan ini karena terdapat gugus reduksi bebas yang membentuk Cu2O melalui reduksi Cu2+ menjadi Cu+. Pada 2 ml laktosa 0,02 M juga dihasilkan endapan merah bata karena laktosa masih memiliki gugus pereduksi bebas (aldehid) pada C1 dari ikatan glikosidik antara glukosa dengan galaktosa. Sementara, pada 2 ml sukrosa 0,02 M dan 2 ml 0,7% pati, tidak terbentuk endapan merah bata, dikarenakan tidak terdapat gugus aldehid.

        Pengujian dengan menggunakan metode molish guna mengetahui pengaruh asam pada karbohidrat. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan 4 tabung reaksi yang berisikan empat sampel yang berbeda. Tabung A diisi 1 ml Furfural 0,01 M; Tabung B diisi 1 ml Glukosa 0,02 M; Tabung C diisi 1 ml selulosa 0,01M; dan Tabung D diisi 1 ml pati 0,7%. Setiap sampel kemudian ditambahkan reagen Molish 5% sebanyak 2 tetes dan H2SO4 pekat sebanyak 3 ml melalui dinding tabung reaksi. Asam sulfat ditambahkan sebagai agen pengkondensasi dan membentuk multifurfural sehingga terbentuk rantai karbon yang semakin memendek (Abdillah et al., 2017). Bersama dengan reagen molish, furfural tersebut akan membentuk kompleks cincin ungu melalui reaksi dengan -napthol.

        Dari pengujian yang sudah dilakukan tersebut, dapat dilihat adanya perubahan pada empat larutan sampel dengan terbentuknya cincin berwarna ungu dengan ketebalan berbeda. Pada Tabung A dengan reaktan 1 ml Furfural 0,01 M terbentuk cincin ungu yang paling tebal, karena furfural dapat langsung bereaksi untuk membentuk cincin ungu. Pada tabung B terbentuk cincin ungu dengan ketebalan yang lebih tipis dari tabung A, dikarenakan sampel glukosa harus mengalami dehidrasi terlebih dahulu oleh asam sulfat untuk membentuk furfural. Hal ini sesuai dengan pernyataan Safitri & Roosdiana (2020), bahwa untuk menghasilkan furfural perlu dilakukan hidrolisis ikatan sakarida pada sampel karbohidat, oleh asam pekat. Kemudian hasil untuk tabung C dan D menghasilkan cincin ungu yang sangat tipis, karena keduanya termasuk dalam polisakarisa sehingga, untuk menjadi furfural harus dipecah menjadi monosakarida.

        Pada pengujian seliwanoff, dilakukan untuk mengetahui keberadaan gugus keton pada karbohidrat. Dalam pengujian seliwanoff, digunakan 2 tabung reaksi yang berisikan dua sampel yang berbeda. Tabung A berisi 2 ml fruktosa 0,01 M dan tabung B berisi 2 ml glukosa 0,01 M. Selanjutnya, kedua tabung ditambahkan 2 ml HCl pekat dan dilakukan proses pemanasan selama 30 menit. Setelah dipanaskan, setiap tabung reaksi diberi 0,5 ml resorsinol dalam alkohol 0,5% sebagai reagen seliwanoff. Menurut Anna & Roosdiana (2020), penambahan HCl sebagai asam untuk melakukan reaksi dehidrasi terhadap ketosa menjadi furfural yang kemudian akan bereaksi lagi dengan resorsinol untuk membentuk kompleks berwarna kemerahan. Kompleks merah yang terbentuk merupakan hasil positif dari uji seliwanoff. Hasil ini menunjukkan bahwa sampel tersebut memiliki dilakukan, didapatkan hasil uji pada tabung A yaitu larutan menjadi berwarna merah. Hal ini dikarenakan adanya gugus keton di dalam fruktosa yang bereaksi dengan Seliwanoff untuk membentuk hidroksimetilfurfural. Sementara, pada tabung B tidak terbentuk warna merah, hal ini dikarenakan pada glukosa tidak memiliki gugus keton tetapi, gugus aldehid.

        Pengujian dengan metode fenilhidrazin ini guna mengidentifikasi karbohidrat berdasarkan pada bentuknya secara fisik. Dalam pengujian yang telah dilakukan, diperlukan 3 sampel yang berbeda. Tabung reaksi A berisi sampel 5 ml glukosa 0,01 M; pada tabung B berisi 5 ml fruktosa 0,1 M; dan pada tabung C berisi 5 ml arabinosa 0,1 M. Kemudian ketiga sampel tersebut diberi perlakuan penambahan 10 tetes asam asetat anhidrit, sedikit fenilhidrazin padat, dan Na asetat sejumlah 2 kali fenilhidrazin. Penambahan komponen asam dalam sampel guna menciptakan larutan dalam suasana asam, dan pemberian fenilhidrazin padat guna membentuk osazon pada akhir uji. Setelah itu, semua tabung reaksi melalui proses pemanasan, penyaringan filtrat dan penempatan sampel pada tabung reaksi baru. Kemudian dilakukan proses pemanasan lagi selama 30 menit. 

        Dari perlakuan tersebut, akan diperoleh hasil melalui terbentuknya osazon dengan berbagai variasi. Untuk mengetahui hasil dari uji fenilhidrazin, larutan sampel terlebih dahulu harus didinginkan dan dibuat preparat. Dengan bantuan harus mikroskop, hasil uji dapat diamati. Terbentuknya senyawa osazon merupakan akibat terhadap reaksi oksidasi-reduksi antara atom C nomor satu dan dua gugus aldehid atau keton sakarida dengan fenilhidrazin (Anindita et al., 2016). Adapun hasil yang terlihat di bawah mikroskop pada sampel glukosa yaitu kristal menyerupai jarum dengan warna gelap, pada sampel fruktosa osazon berbentuk kristal jarum berwarna terang, dan pada sampel arabinose bentuk osazon bulat padat dengan warna kemerahan. 

    Uji hasil hidrolisis amilum dilakukan  dengan uji yod untuk mengetahui tahapan pada proses hidrolisis amilum. Dalam proses pengujiannya, diperlukan amilum 1% di dalam tabung reaksi dan kemudian ditambahkan 3 ml HCl 3 M. Campuran ini dididihkan serta diambil sampelnya pada setiap 3 menit untuk dilakukan uji iod. Uji iod ini dilakukan terhadap 6 jenis sampel yang berbeda. Proses uji iod, dilakukan di atas cawan porselin dengan cara mengambil sampel campuran amilum kemudian ditetesi dengan larutan iod. Hasil dari uji tahapan hidrolisis amilum yaitu pada pencampuran sampel amilum dengan iod dihasilkan warna biru. Hasil ini sesuai dengan Ginting et al., (2018), bahwa pati yang diujikan mampu menghasilkan warna biru apabila dicampur dengan iodine. Kedua, sampel amilodekstrin dengan iod menghasilkan warna ungu dan eritodekstrin dengan iod menghasilkan warna merah, perubahan warna ini juga sesuai dengan pernyataan Lestari et al., (2014) mengenai uji iod pada amilopektin akan menghasilkan warna merah violet dan pada dekstrin berwarna merah sampai cokelat. Kemudian pencampuran tidak akan menghasilkan warna pada akrodekstrin dengan iod, maltosa dengan iod, dan glukosa dengan iod. 


Kesimpulan

Karbohidrat merupakan struktur polihidroksialdehid atau polihidroksiketon. Berdasar klasifikasi jumlah unit gula, karbohidrat dapat dibagi menjadi 3 yaitu, monosakarida, oligosakarida, dan polysakarida. Monosakarida merupakan jenis karbohidrat paling sedehana dan penting keberadaanya. Jenis-jenis monosakarida penting antara lain gliseraldehide, glukosa, fruktosa, galaktosa, dan ribose. Unit gula karbohidrat dengan jumlah lebih sari satu akan terikat oleh ikatan glikosidik. Pada oligosakarida, terbagi lagi antara unit disakarida dan trisakarida. Disakarida memiliki unit gula berjumlah dua seperti pada, maltose, latosa, dan sukrosa. Sementara, trisakarida memiliki tiga unit gula seperti pada rafinosa. Untuk polisakarisa, unit gula penyusunnya berjumlah lebih dari 10 unit, seperti pada amilum, glikogen, dan selulosa. Karbohidrat terdiri atas atom karbon, hidrogen dan oksigen dengan rumus yaitu CnH2nOn. Untuk melakukan uji karbohidrat diperlukan beberapa metode. Metode pertama guna mengetahui daya reduksi, dilakukan dengan uji benedict dan uji luff. Metode kedua yaitu untuk mengetahui pengaruh asam yang dilakukan dengan uji molish dan uji seliwanoff. Ketiga, dengan pembentukan osazon melalui uji fenilhidrazin, dan terakhir yaitu uji hasil hidrolisis amilum guna mengetahui tahapan hidrolisis amilum.




Komentar

Postingan Populer