Langsung ke konten utama

Unggulan

Karat Daun Kopi (Hemileia vastatrix) : Penyebab dan Pengendaliannya

 Karat Daun Kopi ( Hemileia vastatrix ) : Penyebab dan Pengendaliannya Penyebab penyakit karat daun kopi Jamur yang menyebabkan penyakit karat daun pada tanaman kopi adalah Hemileia vastatrix pada umumnya adalah parasit obligat, yang hanya dapat hidup jika memarasit jaringan hidup (Semangun, 1990 cit Defitri, 2016). Gambar 1. Konidia jamur Hemilleia sp. Pada H. vastatrix ini spora yang memegang peranan penting dalam pembiakan dan pemencarannya adalah urediospora yang dibentuk dalam jumlah yang besar. Urediospora membentuk pembuluh kecambah yang seterusnya membentuk apresorium di depan mulut kulit, dan seterusnya jamur mengadakan penetrasi ke dalam jaringan daun (Semangun, 1990 cit Defitri, 2016). Gejala Penyakit Karat Daun Kopi (Hemileia vastatrix) Gambar 2. Gejala Penyakit Karat Daun Kopi (Hemileia vastatrix) Gejala penyakit yaitu pada sisi bawah daun terdapat becak-becak yang semula berwarna kuning muda, kemudian menjadi kuning tua, terbentuk tepung berwa

KELEMBAGAAN PERLINDUNGAN TANAMAN DI INDONESIA


KELEMBAGAAN PERLINDUNGAN TANAMAN DI DESA POTORONO, BANGUNTAPAN, BANTUL

Pencapaian produksi pertanian tidak terlepas dari gangguan-gangguan sistem produksi yang dialami di lapangan. Berbagai serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan gangguan akibat anomali iklim/bencana alam sering mengakibatkan kerugian hasil yang cukup besar. Serangan OPT serta dampak fenomena iklim yang merugikan tidak mengenal batas administrasi suatu daerah ataupun sektor-sektor tertentu. Oleh karena itulah, penanganan masalah perlindungan tanaman agar mencapai hasil yang optimal harus dilaksanakan secara terkoordinasi diseluruh wilayah yang terkena serangan OPT atau wilayah terdampak fenomena iklim tersebut.

Berbagai program dan kegiatan perlindungan tanaman dikelola dan dilaksanakan oleh lembaga-lembaga khusus, baik yang ada di pemerintah, industri, lembaga swadaya masyarakat maupun masyarakat tani. Struktur, fungsi dan mekanisme kerja lembaga-lembaga perlindungan tanaman bervariasi antar tempat, waktu yang tergantung pada tujuan, fungsi, sasaran dan tugas yang ditetapkan oleh lembaga diatasnya. Kinerja suatu lembaga dalam mencapai tujuan dan sasarannya disamping ditentukan  oleh kinerja lembaga tersebut dalam menjalakan program kerjanya, juga sangat ditentukan oleh hubungan dan kerjasama dengan lembaga-lembaga lain (Untung, 2007). 

Kelembagaan struktural pada BPP (Balai Penyuluh Pertanian) Banguntapan, Bantul secara umum terdiri dari koordinator BPP, satu orang POPT (Pengendali OPT) dan PPL (Petugas Penyuluh Lapangan). Mekanisme kerja saat terjadi outbreak suatu hama pada desa Potorono telah terkoordinasi dengan baik. Jika keadaan outbreak hama, petani segera melapor kepada petugas POPT, lalu petugas POPT melakukan koordinasi di BPP Banguntapan dan melakukan pengambilan keputusan pengendalian berdasarkan tingkat keparahan serangan.

Di desa Potorono pernah terjadi outbreak hama wereng batang cokelat pada padi, namun luas serangan hama ini tidak terlalu luas. Pada waktu itu para petani yang tergabung dalam kelompok tani telah diberi pembelajaran mengenai monitoring hama, apabila terdapat wereng lebih dari 7 ekor per rumpun, dan tidak ada predator maka harus dikendalikan juga dilaporkan kepada petugas POPT. Petugas POPT lalu melakukan pengecekan ulang berdasarkan laporan dari petani dan melakukan koordinasi di BPP Banguntapan. Dikarenakan outbreak hama wereng batang cokelat tidak terlalu luas, maka diputuskan dapat pengendalian hama yang sesuai, dan menyampaikannya kepada petani. Namun, apabila laporan outbreak hama wereng batang cokelat ternyata lebih luas dan parah, maka diperlukan koordinasi pada lembaga diatasnya yaitu UPT (Unit Pelaksanaan Teknis) Kabupaten Bantul dan Dinas Pertanian Kabupaten Bantul.

Petani pada desa Potorono terbagi kedalam 9 kelompok tani, yang secara rutin melakukan rapat koordinasi dengan PPL atau POPT setiap 40 hari sekali guna membahas teknis budidaya seperti subsidi pupuk, benih, dll serta kondisi tanaman dan hamanya. Tugas sehari-hari seorang POPT adalah bekerja mengamati hama dan penyakit bersama petani. Apabila terjadi oubreak hama yang kecil di suatu lahan sedangkan lahan yang lain belum terkena, maka kebijakan yang diambil adalah dengan dikendalikan dengan agen hayati. Namun apabila outbreak hama sudah menyebar secara luas dibeberapa lahan maka dapat dikendalikan dengan pestisida. Agen hayati yang digunakan pada pengendalian outbreak secara kecil antara lain PGPR, Corin Bakteri dan Beauveria. Petani dapat memperoleh agen hayati tersebut secara gratis, dikarenakan dibiayai dari pemerintah.

Tugas seorang POPT adalah melakukan pengamatan OPT dan faktor-faktor yang berpengaruh di wilayah kerjanya serta memberikan informasi tentang hasil pengamatan dan rekomendasi pengendalian kepada petani dan unit kerja yang melakukannya. Sedangkan tugas pokok POPT yang berada di Kecamatan adalah meliputi menyiapkan, merenanakan, melaksanakan, mengembangkan, mengevaluasi, membimbing dan melaporkan pengawasan, analisis ramalan serta melakukan pencegahan. Pada saat keadaan luar biasa atau eksplosif, yang dicirikan dengan gangguan OPT, kebanjiran, kekeringan, kebakaran, dan dalam hal ini petani sudah tidak sanggup mengendlaikan dikarenakan kerugian yang ditimbulkan sangat besar, maka pemerintah perlu membantu mengendalikan gangguan berupa fisik sarana pengendali, biaya, tenaga dan sebagainya (Untung, 2007)

Berdasarkan informasi yang didapatkan bahwa jumlah POPT dalam kecamatan Banguntapan hanya berjumlah satu orang, padahal kecamatan Banguntapan terdiri dari 8 desa. Hal tersebut tentunya tidak sebading dengan jumlah PPL yang setara dengan jumlah desa, yaitu 8 orang, mengingat tugas dan kewajiban POPT sangat berat. Meskipun begitu, pada Kecamatan Banguntapan ini terjalin koordinasi yang baik antara PPL dan POPT, dimana mereka saling menggalakkan sistem pengendalian ramah lingkungan dan monitoring OPT secara berkelanjutan. Untuk meningkatkan kapasitas pengetahuan, POPT dan PPL Kecamatan Banguntapan juga bekerjasama dengan dosen-dosen di suatu institusi tertentu.

Pendampingan petugas POPT pada waktu terjadinya outbreak dengan menggunakan agen hayati sudah benar adanya, juga terlatihnya petani memonitoring suatu hama serta fasilitas agen hayati yang diberikan membuktikan bahwa kinerja pemerintah yang dalam memberikan informasi, arahan serta pendampingan dapat meningkatkan kapasitas petani dalam pengendalian OPT. Namun pada beberapa hal terkait dengan penggunaan pestisida, dampaknya, pestisida jenis apa saja yang digunakan, belum mendapatkan perhatian dari Kecamatan Banguntapan ini. Hal tersebut disayangkan, mengingat petani telah menyadari bahwa pestisida hanya dapat  digunakan pada saat outbreak dirasa akan terjadi. Diharapkan petugas lapangan di Kecamatan Banguntapan lebih memahami mengenai jenis pestisida dan pengetahuan lain mengenai pestisida sehingga dapat menyalurkan ilmunya kepada petani setempat.

Pola tanam petani yang digunakan di desa Potorono ini adalah padi-padi-padi.  Sistem tanam ini terjadi karena air yang ada dilahan pertanian tersedia dalam jumlah melimpah. Pola tanam tersebut tentu menjadi pola tanam yang tidak sehat jika ditinjau dari perlindungan tanaman, karena hama dan penyakit pada padi selalu ada sepanjang waktu. Diharapkan kedepannya pengetahuan dan sosialiasasi mengenai sistem pola tanam yang lebih menguntungkan dapat dilakukan.



REFERENSI :

Untung, Kasumbogo. 2007. Kebijakan Perlindungan Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Narasumber wawancara : Bapak Sabari petugas BPP Kecamatan Banguntapan


Komentar

Postingan Populer