KELEMBAGAAN
PERLINDUNGAN TANAMAN DI DESA POTORONO, BANGUNTAPAN, BANTUL
Pencapaian
produksi pertanian tidak terlepas dari gangguan-gangguan sistem produksi yang
dialami di lapangan. Berbagai serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) dan
gangguan akibat anomali iklim/bencana alam sering mengakibatkan kerugian hasil
yang cukup besar. Serangan OPT serta dampak fenomena iklim yang merugikan tidak
mengenal batas administrasi suatu daerah ataupun sektor-sektor tertentu. Oleh
karena itulah, penanganan masalah perlindungan tanaman agar mencapai hasil yang
optimal harus dilaksanakan secara terkoordinasi diseluruh wilayah yang terkena
serangan OPT atau wilayah terdampak fenomena iklim tersebut.
Berbagai
program dan kegiatan perlindungan tanaman dikelola dan dilaksanakan oleh
lembaga-lembaga khusus, baik yang ada di pemerintah, industri, lembaga swadaya
masyarakat maupun masyarakat tani. Struktur, fungsi dan mekanisme kerja
lembaga-lembaga perlindungan tanaman bervariasi antar tempat, waktu yang
tergantung pada tujuan, fungsi, sasaran dan tugas yang ditetapkan oleh lembaga
diatasnya. Kinerja suatu lembaga dalam mencapai tujuan dan sasarannya disamping
ditentukan oleh kinerja lembaga tersebut
dalam menjalakan program kerjanya, juga sangat ditentukan oleh hubungan dan
kerjasama dengan lembaga-lembaga lain (Untung, 2007).
Kelembagaan struktural
pada BPP (Balai Penyuluh Pertanian) Banguntapan, Bantul secara umum terdiri
dari koordinator BPP, satu orang POPT (Pengendali OPT) dan PPL (Petugas
Penyuluh Lapangan). Mekanisme kerja saat terjadi outbreak suatu hama pada desa Potorono telah terkoordinasi dengan
baik. Jika keadaan outbreak hama, petani segera melapor kepada petugas POPT,
lalu petugas POPT melakukan koordinasi di BPP Banguntapan dan melakukan
pengambilan keputusan pengendalian berdasarkan tingkat keparahan serangan.
Di desa Potorono pernah terjadi outbreak hama wereng batang cokelat pada padi, namun luas serangan
hama ini tidak terlalu luas. Pada waktu itu para petani yang tergabung dalam
kelompok tani telah diberi pembelajaran mengenai monitoring hama, apabila
terdapat wereng lebih dari 7 ekor per rumpun, dan tidak ada predator maka harus
dikendalikan juga dilaporkan kepada petugas POPT. Petugas POPT lalu melakukan
pengecekan ulang berdasarkan laporan dari petani dan melakukan koordinasi di
BPP Banguntapan. Dikarenakan outbreak
hama wereng batang cokelat tidak terlalu luas, maka diputuskan dapat
pengendalian hama yang sesuai, dan menyampaikannya kepada petani. Namun,
apabila laporan outbreak hama wereng
batang cokelat ternyata lebih luas dan parah, maka diperlukan koordinasi pada
lembaga diatasnya yaitu UPT (Unit Pelaksanaan Teknis) Kabupaten Bantul dan
Dinas Pertanian Kabupaten Bantul.
Petani pada desa Potorono terbagi kedalam 9 kelompok tani,
yang secara rutin melakukan rapat koordinasi dengan PPL atau POPT setiap 40
hari sekali guna membahas teknis budidaya seperti subsidi pupuk, benih, dll
serta kondisi tanaman dan hamanya. Tugas sehari-hari seorang POPT adalah
bekerja mengamati hama dan penyakit bersama petani. Apabila terjadi oubreak hama yang kecil di suatu lahan
sedangkan lahan yang lain belum terkena, maka kebijakan yang diambil adalah
dengan dikendalikan dengan agen hayati. Namun apabila outbreak hama sudah
menyebar secara luas dibeberapa lahan maka dapat dikendalikan dengan pestisida.
Agen hayati yang digunakan pada pengendalian outbreak secara kecil antara lain PGPR, Corin Bakteri dan
Beauveria. Petani dapat memperoleh agen hayati tersebut secara gratis,
dikarenakan dibiayai dari pemerintah.
Tugas seorang POPT adalah melakukan pengamatan OPT dan
faktor-faktor yang berpengaruh di wilayah kerjanya serta memberikan informasi
tentang hasil pengamatan dan rekomendasi pengendalian kepada petani dan unit
kerja yang melakukannya. Sedangkan tugas pokok POPT yang berada di Kecamatan
adalah meliputi menyiapkan, merenanakan, melaksanakan, mengembangkan, mengevaluasi,
membimbing dan melaporkan pengawasan, analisis ramalan serta melakukan
pencegahan. Pada saat keadaan luar biasa atau eksplosif, yang dicirikan dengan
gangguan OPT, kebanjiran, kekeringan, kebakaran, dan dalam hal ini petani sudah
tidak sanggup mengendlaikan dikarenakan kerugian yang ditimbulkan sangat besar,
maka pemerintah perlu membantu mengendalikan gangguan berupa fisik sarana
pengendali, biaya, tenaga dan sebagainya (Untung, 2007)
Berdasarkan informasi yang didapatkan bahwa jumlah POPT dalam
kecamatan Banguntapan hanya berjumlah satu orang, padahal kecamatan Banguntapan
terdiri dari 8 desa. Hal tersebut tentunya tidak sebading dengan jumlah PPL
yang setara dengan jumlah desa, yaitu 8 orang, mengingat tugas dan kewajiban
POPT sangat berat. Meskipun begitu, pada Kecamatan Banguntapan ini terjalin
koordinasi yang baik antara PPL dan POPT, dimana mereka saling menggalakkan
sistem pengendalian ramah lingkungan dan monitoring OPT secara berkelanjutan.
Untuk meningkatkan kapasitas pengetahuan, POPT dan PPL Kecamatan Banguntapan
juga bekerjasama dengan dosen-dosen di suatu institusi tertentu.
Pendampingan petugas POPT pada waktu terjadinya outbreak dengan menggunakan agen hayati
sudah benar adanya, juga terlatihnya petani memonitoring suatu hama serta
fasilitas agen hayati yang diberikan membuktikan bahwa kinerja pemerintah yang
dalam memberikan informasi, arahan serta pendampingan dapat meningkatkan
kapasitas petani dalam pengendalian OPT. Namun pada beberapa hal terkait dengan
penggunaan pestisida, dampaknya, pestisida jenis apa saja yang digunakan, belum
mendapatkan perhatian dari Kecamatan Banguntapan ini. Hal tersebut disayangkan,
mengingat petani telah menyadari bahwa pestisida hanya dapat digunakan pada saat outbreak dirasa akan terjadi. Diharapkan petugas lapangan di
Kecamatan Banguntapan lebih memahami mengenai jenis pestisida dan pengetahuan
lain mengenai pestisida sehingga dapat menyalurkan ilmunya kepada petani
setempat.
Pola tanam petani yang digunakan di desa Potorono ini adalah
padi-padi-padi. Sistem tanam ini terjadi
karena air yang ada dilahan pertanian tersedia dalam jumlah melimpah. Pola
tanam tersebut tentu menjadi pola tanam yang tidak sehat jika ditinjau dari
perlindungan tanaman, karena hama dan penyakit pada padi selalu ada sepanjang
waktu. Diharapkan kedepannya pengetahuan dan sosialiasasi mengenai sistem pola
tanam yang lebih menguntungkan dapat dilakukan.
REFERENSI :
Untung, Kasumbogo. 2007. Kebijakan Perlindungan
Tanaman. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta
Narasumber wawancara : Bapak Sabari
petugas BPP Kecamatan Banguntapan
Komentar
Posting Komentar